Habib Ali menjadi tempat mengadu berbagai permasalahan banyak orang. Mereka yang berasal dari Nusantara dan egara-negara Jazirah Arab, apabila berkunjung ke Malaysia, akan meluangkan waktu untuk mengunjunginya demi
mendapatkan mutiara nasihat dan keberkahan dari sosok yang jiwa dan
raganya ini senantiasa bergantung kepada Allah SWT dan Baginda
Rasulullah SAW.
Di antara petuah yang pernah ia sampaikan, “Allah SWT adalah Sang
Khaliq. Manusia hanyalah makhluk. Maka, manusia harus mematuhi apa pun
perintah Sang Maha Pencipta, bukan Sang Maha Pencipta yang mematuhi
perintah manusia.
Habib Ali bin Ja’far bin Ahmad Alaydrus, atau yang sering disebut ‘Habib Ali Batu Pahat’ adalah seorang kekasih Allah yang mengajarkan kepada siapa-pun bahwa di zaman yang sudah amat
maju ini orang masih bisa hidup zuhud dan tawadhu. Dalam
kesederhanaannya, ia mengarungi hidup dengan tegar. Banyak di antara
pecintanya ingin membangunkan rumah mewah sebagai kediaman yang layak
bagi orang sebesar dirinya. Namun semuanya ia tolak secara halus.
Demikianlah, setiap harinya dia mandi dan mengambil wudhu di kamar mandi
yang bersatu dengan sumur tua dalam bangunan yang sangat sederhana.
Tanda keutamaan dalam dirinya sangat jelas. la adalah orang yang ketika
wajahnya dipandang, dapat mengingatkan hati yang memandangnya kepada
Allah SWT. Akhlaqnya amat luhur dan mulia, sebagai bias dari akhlaq
datuknya, Baginda Rasulullah SAW. Sikap zuhud terhadap dunia adalah
hiasan terindah dalam kesehariannya. Begitu pula sifatnya yang teramat
wara’.
Salah seorang kerabatnya dari Indonesia,
yang masih terhitung cucunya, suatu saat mengunjunginya. Saat berada di
sana, lewat jendela rumah sederhana itu, sang cucu memandangi buah
kelapa yang menggantung di pohon kelapa di sisi rumahnya.
Memperhatikan hal itu, Habib Ali mendekat dan mengatakan kepadanya,
“Kamu mau buah kelapa itu? Sebentar. Saya mintakan izin dulu sama si
empunya tanah. Sebab, saya hanya menyewa rumahnya, tanahnya tidak ikut
saya sewa.” Subhanallah. Rumah sederhana yang ia tempati itu pun
ternyata rumah sewaan, bukan rumah miliknya.
Sangat Memuliakan Tamu
Hatinya begitu lembut. la tak ingin ada sedikit pun rasa kecewa tumbuh di hati orang yang mengunjunginya. Di rumahnya yang amat sederhana, kecil, dan sempit itu, sedemikian rupa ia muliakan setiap tamu yang datang. Semua ia terima
dengan penerimaan yang menyenangkan hati, tak peduli rupa apalagi
harta. Berjumpa dengan sosok bersahaja itu, hati pun serasa menjadi
lapang seketika. Ruang tamunya pun tak pernah kosong dari ratusan botol
kemasan air mineral para tamu yang berharap keberkahan dari doa-doa yang ia lafalkan. Meski amat banyak untuk ukuran seorang yang sudah sesepuh Habib Ali Batu Pahat, ia mendoai satu per satu air itu dengan penuh kekhusyu’an. la amat
santun kepada setiap tamunya. Kaya, miskin, ulama, ataupun awam.
Siapapun. Meski hidup sederhana, ia bahkan hampir selalu memberikan uang
kepada para tamunya. Jumlahnya terkadang tidak kecil. Jika mereka
berkunjung pada jam makan, tak mungkin tamunya diizinkan pulang sebelum
mereka makan bersamanya. Sifat rendah hatinya kepada setiap tamunya amat mengagumkan. Sebelum sang tamu pulang, orang semulia dirinya ini justru selalu meminta doa dari mereka.
Kelahiran Purwakarta
Ayah Habib Ali, Habib Ja’far bin Ahmad Alaydrus, datang ke Singapura
dari Purwarkarta dan menetap di Negeri Singa itu selama beberapa tahun
pada dekade tahun 1930-an dan tinggal di Lorong 30 Geylang. Habib Ja’far
kembali ke Hadhramaut pada tahun 1938. la wafat pada tahun 1976 di kota
Tarim. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Zanbal, berdekatan dengan
makam datuknya, Habib Abdullah Alaydrus.
Berdasarkan kisah yang disampaikan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah, ketika ayah Habib Ali ini masih dalam kandungan ibunya, kakeknya, Habib
Abdul Qadir bin Salim, berkata kepada istrinya, Hababah Aisyah Assegaf,
jika putranya Ahmad dikaruniai anak laki-laki, akan ia namai “Salim”,
mengikut nama orangtua Habib Abdul Qadir sendiri. Namun istrinya,
Hababah Aisyah, tidak setuju dengan usulan itu dan ia ingin menamainya
Ja’far, mengikuti nama datuk sang istri, Habib Ja’far bin Ahmad bin Ali bin Abdullah Assegaf. Mendengar usulan sang istri, Habib Abdul Qadir mengatakan, ia bersedia
menamainya “Ja’far” sekiranya tampak nyata kelebihan yang ada pada diri
anak itu kelak. “Baik, kamu akan lihat kelebihannya, giginya akan
tumbuh sebelum waktunya,” kata. Hababah Aisyah saat itu. Habib Abdul
Qadir menimpali kembali, “Kalau memang demikian, aku akan sembelih tujuh
ekor kambing.” Pada saatnya, benar saja, yang terlahir adalah seorang
anak laki-laki. Dan tiba hari ketujuh, hari untuk menyelenggarakan
aqiqah sekaligus untuk memberikan nama pada sang anak, nyatalah apa yang
dikatakan Hababah Aisyah. Gigi si cucu mulai terlihat. Maka, sang cucu
pun dinamai “Ja’far”.
Habib Ja’far kemudian tumbuh dewasa dalam lingkungan keluarga yang
shalih dan ‘alim. la juga kemudian dikenal sebagai seorang alim pada
masanya. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah termasuk yang ber-istifadah (mengambil faidah ilmu) darinya. Di antara karyanya, Habib Ja’far meninggalkan sebuah diwan (kumpulan qashidah) yang kini telah dicetak oleh penerbit Darul Ushul, Yaman. Habib
Ja’far bin Ahmad mempunyai 10 putra, yakni Abdullah, Abdul Qadir, Ali,
Salim, ldrus, Thaha, Ahmad, Abubakar, Thahir, dan Alwi, serta beberapa
putri. Diantara putri Habib Ja’far yang masih hidup pada saat ini adalah adik Habib Ali yang bernama Syarifah Gamar. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa Habib
Ali Batu Pahat ini kelahiran Nusantara tepatnya di Purwakarta, Jawa
Barat, pada tahun 1919. Sebagian keluarganya saat ini juga masih berada
di sana.
Tahun 1926, yaitu saat berumur tujuh tahun, ia tiba di Singapura. Tapi hanya sebentar, lalu ia kembali lagi ke Indonesia. Tahun 1929, untuk kedua kalinya ia datang ke Singapura dan kemudian menetap di sana hingga tahun 1942. Di Singapura, ia tinggal bersama ayah dan kakaknya, Habib Abdul Qadir bin Ja’far Alaydrus, di sebuah rumah di Arab Street. Ketika itu sang kakak baru datang dari Hadhramaut. Berdasarkan cerita yang
pernah disampaikan Habib Ali sendiri, kedatangan sang kakak mendapat sambutan yang amat hangat dari penduduk Singapura pada saat itu. Habib Abdul Qadir sendiri wafat di Purwakarta dan dimakamkan di sana.
Tahun 1942, Habib Ali hijrah ke Batu Pahat, Johor, Malaysia. Semasa hidupnya di negeri rantaunya yang baru ini, Habib Ali menjadi tempat mengadu berbagai permasalahan banyak orang.
Tempat Ziarah para Ulama
Semasa hidupnya, Habib Ali menjadi tempat mengadu berbagai permasalahan banyak orang. Mereka yang berasal dari Nusantara dan negara-negara Arab, apabila berkunjung ke Malaysia, akan meluangkan waktu untuk mengunjunginya, demi
mendapatkan mutiara nasihat dan keberkahan dari sosok yang jiwa dan
raganya ini senantiasa bergantung kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Di antara petuah yang pernah ia sampaikan, “Allah SWT adalah Sang
Khaliq. Manusia hanyalah makhluk. Maka, manusia harus mematuhi apa pun
perintah Sang Maha Pencipta. Bukan Sang Maha Pencipta yang mematuhi
perintah manusia.” Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, bila berkunjung
ke Malaysia, pun kerap menziarahi Habib Ali di Batu Pahat. Pada perjumpaan terakhirnya dengan Habib Ali,
Al-Maliki mengatakan, ia meyakini bahwa Habib Ali adalah seorang yang
diberi anugerah besar dari sisi Allah di negeri rantaunya ini. Sebelum
pulang, Sayyid Muhammad Al-Maliki pun mengarang sebuah qashidah untuknya
yang menggambarkan sifat-sifat mulia Habib Ali bin Ja’far Alaydrus.
Pernah suatu kali Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki rahimahullah
berkunjung pada beliau, sepanjang jalan Sayyid Muhammad berbicara
tentang rindunya pada Rasulullah saw, maka ketika sampai di kediaman
beliau, maka semua tamu tidak diperkenankan masuk, kecuali Sayyid
Muhammad Al Maliki, mereka masuk berdua cukup lama, lalu keluarlah
Sayyid Muhammad Al Maliki dengan airmata yang bercucuran.., seraya
berkata : “hajat saya sudah terkabul… terkabul.., sambil menutup wajah
beliau dengan linangan air mata.”
Diantara Ulama yang pernah mengunjungi dan bersilaturrahmi kepada beliau
antara lain, Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Semith dari Madinah,
Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri (Hadhramaut), Al-Habib Umar bin
Hafidh (Hadhramaut), Al Habib Anis bin Alwi Al Habsyi dari Solo dan
tokoh habaib dan ulama lainnya.
Tenggelamnya sebuah Bintang
Pada hari Kamis, 13 Mei 2010/28 Jumadil Ula 1431 H, sore menjelang
maghrib, atau tepat 40 hari setelah Habib Abdul Qadir wafat sekitar
pukul 17.10 atau 17.15 petang waktu setempat Al-Habib Ali wafat. Syed
Ibrahim dan Syed Ja’far, keduanya cucu Habib Ali, dari putranya yang
bemama Syed Husein, disampingnya ketika itu. Hari wafatnya ini menjelang
lima hari sebelum haul ayahandanya, Habib Ja’far bin Ahmad, yaitu pada 3
Jumadil Akhirah.
Dari saat Habib Ali wafat waktu dimandikan keesokan harinya, jenazahnya
tak putus-putus dikunjungi ribuan manusia dari segala penjuru dan
lapisan masyarakat, terutama dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di
antara yang hadir menyampaikan ta’ziyahnya pada saat itu adalah Syed
Hamid bin Ja’far Al-Bar, mantan menteri luar negeri dan menteri dalam
negeri Malaysia. Begitu juga bacaan Al-Quran, Yaasin, dan tahlil tak
putus-putusnya dibacakan hingga jenazahnya usai dimandikan oleh keluarga
sekitar pukul 09.30, Jum’at pagi.
Karena begitu banyaknya penta’ziyah yang datang untuk dapat menghadiri
prosesi shalat Jenazah, akhirnya jenazah Habib Ali dishalatkan sebanyak
dua kali. Pertama, sebagaimana wasiatnya, dishalatkan di dalam rumah,
yang diimami oleh Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Alaydrus, dan
kedua di luar rumah, dengan imam Habib Hasan bin Muhammad bin Salim Al-
Attas. Jenazahnya kemudian dimakamkan
sebelum shalat Jum’at, 29 Jumadil Ula 1431 H/14 Mei 2010, di Tanah
Pekuburan Islam Bukit Cermai, Batu Pahat, Johor, Malaysia. Habib Umar
bin Hamid AI-Jilani dari Makkah yang membacakan talqin pada saat itu.
Habib Ali bin Ja’far Alaydrus meninggalkan seorang putri bernama
Syarifah Khadijah dan tiga orang putra, yaitu Syed Muhammad, Syed Umar,
dan Syed Husein.Semoga ketabahan dan ketawakalan mengiringi hati
keluarga dan para pecintanya atas kepergian sosok yang amat mereka
cintai dan muliakan ini.
Ulama adalah pewaris para nabi. Kepada para pewarisnya itu, Nabi SAW
tidak mewariskan harta, tetapi beliau mewariskan ilmu kepada mereka,
yang nilainya melebihi bilangan harta, seberapa pun besarnya. Siapa yang
mengambil ilmu mereka, dia telah mengambil harta yang amat bernilai.
Oleh karenanya, wafatnya seorang ulama adalah musibah yang sulit
tergantikan dan satu kelemahan yang susah ditutupi. Wafatnya seorang
ulama ibarat sirnanya sebuah bintang di antara gugusan bintang- bintang
lainnya. Baginda Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya wafatnya satu kabilah lebih ringan musibahnya dibandingkan
atas wafatnya seorang yang alim.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibn
Majah, dan Al-Bayhaqi).
Kini Habib Ali telah tiada. Dengan segala kemuliaannya, ia telah berada
di sisi Sang Khaliq. Tinggal kita semua yang saat ini telah
ditinggalkannya. Kita yang masih banyak bergelimang dengan dosa. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan hidayah di atas jalan hidup kita,
mengampuni kita atas dosa-dosa kita, dan mengumpulkan kita kelak di
surga-Nya bersama orang- orang yang kita cintai.
Referensi : majalah alKisah, no. 11/Tahun
VIII 2010 M (sedikit perubahan) dan beberapa sumber lain (madinatulilmi.com).
Semasa hidupnya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar