Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan
yang pertama
SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka – dan terutama Muhammad – telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian ‘Aqaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang dia.
SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka – dan terutama Muhammad – telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian ‘Aqaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang dia.
Mereka memperkuat pendapat ini dengan apa yang
telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para Muhajirin tinggal di
Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b. Abd’l-Muttalib ke
tepi laut (Laut Merah) di sekitar ‘Ish dengan membawa 30 orang pasukan yang
terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini ia
bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri dari
penduduk Mekah; dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi lalu
dilerai oleh Majdi b. ‘Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak.
Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
ketika Muhammad mengirimkan ‘Ubaida bin’l-Harith dengan 60 orang pasukan
terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu tempat
air di Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Disini mereka bertemu dengan kelompok
Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar juga tanpa suatu pertempuran; kecuali apa yang diceritakan orang, bahwa
Said b. Abi Waqqash ketika itu telah melepaskan anak panahnya, “dan itu adalah
anak panah pertama dilepaskan dalam Islam.” Demikianlah ketika Said bin Abi
Waqqash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin menurut satu
sumber atau 20 orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka kembali karena
tidak bertemu siapa-siapa.
Nabi berangkat sendiri
Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah duabelas bulan tinggal di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa’d b. ‘Ubada. Ia pergi ke Abwa’,. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra; tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang dari Muhajirin dan Anshar – menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin o]eh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd’l-Asad, ia berangkat lagi memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai di ‘Usyaira di pedalaman Yanbu’. Ia tinggal disana selama bulan Jumadil Awal dan beberapa malam dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.) sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat. Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra; dan bahwa begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah, tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.
Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah duabelas bulan tinggal di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa’d b. ‘Ubada. Ia pergi ke Abwa’,. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra; tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang dari Muhajirin dan Anshar – menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin o]eh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd’l-Asad, ia berangkat lagi memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai di ‘Usyaira di pedalaman Yanbu’. Ia tinggal disana selama bulan Jumadil Awal dan beberapa malam dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.) sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat. Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra; dan bahwa begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah, tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.
Pendapat ahli-ahli sejarah tentang ekspedisi
pertama
Inilah yang disebut oleh penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr Pertama.
Inilah yang disebut oleh penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr Pertama.
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat
dijadikan bukti, bahwa kaum Muhajirin – dan terutama Muhammad – memang sudah
memikirkan akan membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai mengadakan
permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya – menurut pikiran ahli-ahli
sejarah itu – ini membuktikan, bahwa dengan mengirimkan satuan-satuan dan
ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap
kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari sana dalam perjalanan
musim panas, dengan sedapat mungkin merenggut harta yang dibawa pergi atau
barang-barang dagangan yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Qusaisy dalam
perjalannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian
perdamaian serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang jalan
Medinah-Pantai Laut Merah. Hal ini akan mempermudah pihak Muhajirin melakukan
serangan terhadap kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan
dapat melindungi mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan mencegah kaum
Muslimin – selaku pihak yang berkuasa dan kuat -bertindak terhadap orang-orang
dan harta-benda mereka itu. Adanya satuan-satuan yang oleh Nabi a.s.
pimpinannya diserahkan masing-masing kepada Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith dan
Sa’d b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan
dengan Banu Dzamra, Banu Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua
tadi, begitu juga pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula
sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya) yang
dimulai enam bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti
oleh pihak Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy dan menyerbu
kafilah-kafilah mereka, ini akan membuat orang jadi sangsi dan harus berpikir
lagi. Pasukan Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan ‘Ubaida
tidak lebih dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa’d yang menurut suatu sumber
8 orang, dan menurut sumber yang lain 20 orang. Sedang petugas-petugas yang
mengawal kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak
Muhammad tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan
kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan, pihak
Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah,
‘Ubaida ataupun Sa’d, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala
satuan-satuan Muhajirin, namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup
memberi semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini semua, kiranya cukup
dengan menakut-nakuti Quraisy saja, tanpa mengadakan perang; kecuali apa yang
dilakukan orang tentang anak panah, yang pernah dilepaskan Sa’d itu.
Disamping itu kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal
oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian kerabat dengan
sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah bagi mereka itu mau saling
bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas dendam, atau akan melibatkan
Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu perang saudara, suatu hal yang
selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai kerasulan Muhammad sampai
pada waktu hijrahnya, kaum Muslimin dan orang-orang pagan di Mekah sudah mampu
menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar ‘Aqaba dulu
itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan Khazraj sama-sama
berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah memberikan janji
kepadanya atau kepada siapapun dari sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan
melakukan tindakan permusuhan (agresi).
Pendapat kami tentang satuan-satuan ini
Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah; di satu pihak guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah; di satu pihak guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menyudutkan perdagangan Quraisy
Menurut hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Menurut hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari Mekah
dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah perdagangan
yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya berangkat dengan 2.000 unta dengan
muatan seharga lebih dan 50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah
setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000
pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang
mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah
mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal
mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan melakukan dakwah
agama serta kebebasan memasuki Mekah dan melakukan tawaf di Ka’bah. Tetapi
saling pengertian demikian ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat
memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang
kini akan mencegat dan menutup jalan lalu-lintas perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang
menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah
berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai
oleh Majdi b. ‘Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju
rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat
dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga
ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi – setelah melihat
kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin – ingin
mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute
perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu
akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan
kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Anshar dan perang Agresi
Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan ‘Usyaira itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan ‘Usyaira itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa keberangkatan
satuan-satuan Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d bin Abi Waqqash hanya untuk
memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai suatu penyerbuan, sukar sekali
dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa’, Buwat
dan ‘Usyaira tidak lain dan suatu penyerbuan, adalah sangat dibuat-buat, yang
pada dasarnya sudah tertolak oleh keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi.
Penulis-penulis riwayat hidup Muhammad yang telah mengambil alih pendapat tersebut
tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri hidup Muhammad itu baru
pada akhir-akhir abad kedua Hijrah, dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh
adanya peperangan-peperangan yang terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr.
Segala bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk
berperang, lalu mereka anggap sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada
peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis yang
memang sudah mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak mereka
sebutkan dalam buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat kita menduga mereka
sudah mengetahui hal ini – disamping usaha mereka menyesuaikan diri dengan
ahli-ahli sejarah dari kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan terutama
Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula mereka tinggal di Medinah
– ialah karena mereka sudah menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini
tujuannya tidak lain ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan bahwa kebiasaan
merampok sudah menjadi watak orang-orang pedalaman dan bahwa penduduk Medinah
hanya tertarik pada barang rampasan dalam mengikuti Muhammad dengan melanggar
janji mereka di ‘Aqaba.
Watak penduduk Medinah
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah – seperti juga penduduk Mekah – bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian, merekapun lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang luarbiasa
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah – seperti juga penduduk Mekah – bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian, merekapun lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang luarbiasa
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak
membebaskan harta-benda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun begitu
mereka bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa Badr. Juga
bukan itu pula yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan dan
ekspedisi-ekspedisi yang mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang
belum diundangkan dalam Islam, sedang Muhammad dan sahabat-sahabatnya bertindak
bukanlah dengan tujuan ala pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum
Orientalis, melainkan apa yang sudah berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan
sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang yang mau diperdayakan dari
agamanya dan supaya ada kebebasan berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti
penjelasan dan pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak lebih
jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad dengan perjanjian-perjanjian itu
ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan ada jalan bagi pihak Quraisy dalam
mengejar kehendaknya itu, atau mencoba melakukan kekerasan terhadap kaum
Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika hendak mengembalikan
orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam pada itu ia pun tidak keberatan
mengadakan perjanjian dengan pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah untuk
agama Allah tetap dijamin, dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah bagi
Allah.
Menakut-nakuti Yahudi
Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Intrik-intrik Yahudi
Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga diinginkan oleh pihak Quraisy.
Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga diinginkan oleh pihak Quraisy.
Islam dan Perang
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan – dari satu segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan – dari satu segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Islam
menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap siapa saja
yang hendak memperdayanya. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan pembelaan
demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan demikian pula
seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
“Dan janganlah kamu melakukan pelanggaran
(agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran.”
(Qur an, 2: 190)
Apabila kepada Muhajirin pada waktu itu
dibenarkan menuntut harta-benda mereka yang telah ditahan oleh Quraisy ketika
mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang mau diperdaya dari agama
mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah pertama sekali hukum
perang itu diundangkan.
Bukti terhadap hal ini ialah adanya ayat-ayat
yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy. Dalam bulan Rajab
tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama beberapa orang Muhajirin,
dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah untuk tidak dibuka
sebelum mencapai dua hari perjalanan. Ia menjalankan perintah itu.
Kawan-kawannyapun tak ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka
surat itu, yang berbunyi: “Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan perjalananmu
sampai ke Nakhla (antara Mekah dan Ta’if) dan awasi keadaan mereka. Kemudian
beritahukan kepada kami.”
Disampaikannya hal ini kepada kawan-kawannya dan
bahwa dia tidak memaksa siapapun. Kemudian mereka semua berangkat meneruskan
perjalanan, kecuali Said b. Abi Waqqash (Banu Zuhra) dan ‘Utba b. Ghazwan yang
ketika itu sedang pergi mencari untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy
mereka lalu ditawan.
Sekarang Abdullah dan rombongannya meneruskan
perjalanan sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu dengan kafilah
Quraisy yang dipimpin oleh ‘Amr bin’l-Hadzrami dengan membawa barang-barang
dagangan. Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh Abdullah b. Jahsy dan
rombongannya dari kalangan Muhajirin akan perbuatan Quraisy dahulu serta harta-benda
mereka yang telah dirampas. Mereka berunding. “Kalau kita biarkan mereka malam
ini mereka akan sampai di Mekah dengan bersenang-senang. Tapi kalau mereka kita
gempur, berarti kita menyerang dalam bulan suci,2″ kata mereka.
Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan maju.
Tetapi kemudian mereka memberanikan diri dan sepakat akan bertempur, siapa saja
yang mampu dan mengambil apa saja yang ada pada mereka. Salah seorang anggota
rombongan itu melepaskan panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami yang
kemudian tewas. Kaum Muslimin menawan dua orang dari Quraisy.
Sesampainya di Medinah Abdullah b. Jahsy membawa
kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima barang rampasan
itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah melihat mereka ini ia
berkata, “Aku tidak memerintahkan kamu berperang dalam bulan suci.”
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya.
Samasekali ia tidak mau menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya merasa
kebingungan sekali. Teman-teman sejawat mereka dari kalangan Musliminpun sangat
menyalahkan tindakan mereka itu.
Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang
dipergunakan. Disebarkannya provokasi kesegenap penjuru, bahwa Muhammad dan
kawan-kawannya telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas
harta-benda dan menawan orang. Karena itu orang-orang Islam yang berada di
Mekahpun lalu menjawab, bahwa saudara-saudara mereka seagama yang kini hijrah
ke Medinah melakukan itu dalam bulan Sya’ban. Lalu datang orang-orang Yahudi
turut mengobarkan api fitnah. Ketika itulah datang firman Tuhan:
“Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam
bulan suci. Katakanlah: “Perang selama itu adalah soal (pelanggaran) besar.
Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkari-Nya, menghalangi
orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir orang dari sana, bagi Allah lebih besar
(pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dan pembunuhan. Dan mereka akan tetap
memerangi kamu, sampai mereka berhasil memalingkan kamu dari agamamu, kalau
mereka sanggup.” (Qur’an, 2: 217)
Dengan adanya keterangan Qur’an dalam soal ini
hati kaum Muslimin merasa lega kembali. Penyelesaian kafilah dan kedua orang
tawanan itu kini di tangan Nabi, yang kemudian oleh Quraisy akan ditebus
kembali. Tetapi kata Nabi:
“Kami takkan menerima penebusan kamu, sebelum
kedua sahabat kami kembali – yakni Sa’d b. Abi Waqqash dan ‘Utba ibn Ghazwan.
Kami kuatirkan mereka di tangan kamu. Kalau kamu bunuh mereka, kawan-kawanmu
inipun akan kami bunuh.”
Setelah Said dan ‘Utba kembali, Nabi mau menerima
tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah seorang dari mereka, yaitu Al-Hakam b.
Kaisan masuk Islam dan tinggal di Medinah, sedang yang seorang lagi kembali
kepada kepercayaan nenek-moyangnya.
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci yang
diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami, ini
adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam. Kejadian ini merupakan
peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu
kekuatan yang bersifat insani, meliputi seluk-beluk kehidupan material, moral dan
spiritual. Ia begitu kuat dan luhur dalam tujuannya hendak mencapai
kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang
perang dalam bulan suci: adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar,
yang diiakan bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari
itu. Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih
besar dari perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang
meninggalkan agamanya dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan adalah
lebih besar daripada membunuh orang dalam bulan suci atau bukan dalam bulan
suci. Orang-orang musyrik dan Quraisy yang telah menyalahkan kaum Muslimin
karena mereka melakukan perang dalam bulan suci mereka akan selalu memerangi
umat Islam supaya berpaling dari agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak
Quraisy dan orang-orang musyrik itu semua melakukan pelanggaran-pelanggaran
ini, menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkariNya, apabila mereka
ternyata mengusir orang dari Mesjid Suci, memperdayakan orang dari agamanya,
maka jangan disalahkan orang yang menjadi korban penindasan dan pelanggaran itu
bila ia juga memerangi mereka dalam bulan suci. Tetapi bagi orang yang tidak
mengalami beban penderitaan ini, melakukan perang dalam bulan suci memang suatu
pelanggaran.
Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Memang
benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba membujuk atau memfitnah
orang dari agamanya atau mengalangi dari jalan Allah ia harus berjuang demi
Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat diselamatkan. Di sinilah kalangan
Orientalis dan misi-misi penginjil itu mengangkat suara keras-keras: Lihatlah
tuan-tuan! Muhammad dan agamanya itu menganjurkan orang berperang dan berjuang
demi Allah (aljihad fi sabilillah) atau memaksa orang masuk Islam dengan
pedang. Bukankah ini yang namanya fanatik? Sedang agama Kristen tidak mengenal
adanya peperangan dan membenci perang. Sebaliknya malah menganjurkan toleransi,
memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia, untuk Tuhan dan untuk
Jesus.
Sebenarnya saya tidak ingin berdebat dengan
mereka, kalau saya mengutip sebuah kalimat saja dalam Injil: “Bukannya Aku
datang membawa keamanan, melainkan pedang” dan seterusnya juga tidak tentang
arti yang terkandung dalam kalimat tersebut. Umat Islam mengakui agama Isa itu
seperti sudah disebutkan dalam Qur’an. Tetapi yang terutama perlu saya
sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan agamanya menganjurkan
perang dan memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Ini adalah suatu kebohongan
yang ditolak oleh Qur’an:
“Tak ada pemaksaan dalam agama. Sudah jelas mana
jalan yang benar, mana yang salah.” (Qur’an, 2: 256)
“Berjuanglah kamu untuk Allah melawan mereka yang
memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah
tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran .” (Qur’an, 2: 190)
Dan masih banyak ayat-ayat lain selain dari kedua
ayat suci tersebut.
Dalam arti yang sebenarnya, berjuang demi Allah,
ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi dan yang turun
sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy, yaitu memerangi mereka yang
membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari agamanya atau mengalanginya dari
jalan Allah. Perang dalam arti untuk kebebasan berdakwah agama. Atau dengan
kata lain menurut bahasa sekarang: Mempertahankan idea dengan senjata yang
dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu. Apabila ada seseorang yang
hendak membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika tanpa memaksanya
dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau penyiksaan
dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya – maka sudah tentu ia akan
menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan argumen dan logikanya tadi.
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi orang
dan ideanya itu ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan senjata itupun
harus dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang mampu ia berbuat
begitu. Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri manusia itu tersimpul
hanya dalam sepatah kata saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga –
bagi orang yang mengenal arti kemanusiaan – daripada harta, daripada kekayaan,
kekuasaan dan daripada hidupnya sendiri; hidup materi yang sama-sama dimiliki
oleh manusia dan hewan, sama-sama makan dan minum, mengalami pertumbuhan tubuh
dan enersi. Akidah adalah suatu komunikasi moral antara manusia dengan manusia,
dan komunikasi rohani antara manusia dengan Tuhan. Nasib inilah yang telah
memberikan kelebihan kepada manusia di atas makhluk lain dalam hidup ini, yang
membuat dia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Ia
mengutamakan orang yang hidup sengsara, hidup miskin dan tidak punya, daripada
keluarganya sendiri, meskipun keluarganya itu sedang dalam kekurangan. Ia
mengadakan komunikasi dengan alam semesta supaya bekerja secara tekun, supaya
dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan hidup seperti yang sudah diberikan
Tuhan kepadanya
Apabila akidah yang semacam ini yang ada pada
manusia, lalu ada orang lain yang mau membuat fitnah, mau menceraikannya,
sedang dia tak dapat membela diri, ia harus berbuat seperti dilakukan
orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke Medinah. Dideritanya segala
perbuatan kejam dan serba kekerasan itu, dihadapinya segala penghinaan dan
ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa lapar dan serba kekurangan yang
bagaimanapun juga tidak sampai menghalangi semangatnya berperang terus pada
akidahnya.
Inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang
Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen
dahulu.
Akan tetapi mereka yang tabah mempertahankan
akidah itu bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka terdiri dari manusia-manusia
terpilih, yang telah diberi kekuatan iman oleh Tuhan, sehingga karenanya akan
terasa kecil segala siksaan dan kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia
meratakan gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung supaya pindah
dari tempatnya, gunung itu akan pindah – seperti kata Injil juga. Tetapi jika
orang menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan dapat
menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan cara yang
dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau tidak ini
berarti, akidahnya masih goyah, imannyapun masih lemah.
Inilah yang telah dilakukan oleh Muhammad dan
sahabat-sahabatnya setelah keadaannya di Medinah mulai stabil. Dan ini pula
yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah kekuasaan mereka di
Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah hati maharaja-maharaja Rumawi
itu mulai pula lunak terhadap agama Kristen.
Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi jiwa
Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini saya tidak
bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi di hadapan kita
sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam
adalah saksi yang jujur pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa
kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama
Almasih. Telah dilumuri oleh Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua.
Perang-perang Salib terjadi karena dikobarkan oleh orang-orang Kristen, bukan
oleh orang Islam. Mengalirnya pasukanpasukan tentara sejak ratusan tahun dari
Eropa menuju daerah-daerah Islam di Timur, adalah atas nama Salib: peperangan,
pembunuhan, pertumpahan darah. Dan setiap kali, paus-paus sebagai pengganti
Jesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang
bergerak maju hendak menguasai Bait’l-Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat suci
Kristen lainnya.
Adakah barangkali paus-paus itu semua orang-orang
yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik) ataukah kekristenan mereka itu
yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu pembual-pembual yang bodoh, tidak
mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak menjauhkan diri dari perang? Atau
akan berkata: Itu adalah Abad Pertengahan, abad kegelapan; janganlah agama
Kristen juga yang diprotes. Kalau itu juga yang kadang mereka katakan, maka
abad keduapuluh ini, masa kita hidup sekarang inipun, yang biasa disebut abad
kemajuan dan humanisma – toh dunia juga telah mengalami nasib seperti yang
dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil Sekutu –
Inggeris, Perancis, Itali, Rumania dan Amerika Lord Allenby berkata di
Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota itu didudukinya dalam
tahun 1918: “Sekarang Perang Salib sudah selesai.”
Orang-orang suci dalam Islam dan Kristen
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengan unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan komunikasi dalam arti persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan jiwa yang sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci itu – baik dari kalangan Kristen atau Islam – kalaupun mereka sudah mencerminkan cita-cita yang luhur, namun mereka tidak menterjemahkan kehidupan insani dalam perkembangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kita pahami seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup mengambil risiko sebagai pendahuluan usaha kita kearah itu.
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengan unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan komunikasi dalam arti persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan jiwa yang sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci itu – baik dari kalangan Kristen atau Islam – kalaupun mereka sudah mencerminkan cita-cita yang luhur, namun mereka tidak menterjemahkan kehidupan insani dalam perkembangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kita pahami seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup mengambil risiko sebagai pendahuluan usaha kita kearah itu.
Dan kini sudah lampau masa seribu tiga ratus
limapuluh tujuh tahun sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke Yathrib itu. Tetapi
meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat juga berlumba-lumba
melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam dan fatal. Kata-kata mencegah
perang, penghapusan persenjataan dan menunjuk badan arbitrasi, tidak lebih dari
kata-kata yang biasa diucapkan pada setiap selesai perang, waktu bangsa-bangsa
sedang mengalami kehancuran. Atau ini hanya serangkaian propaganda yang
dilontarkan ketengah-tengah kehidupan oleh orang-orang yang sampai sekarang
belum mampu – dan siapa tahu barangkali takkan pernah mampu – mewujudkan hal
ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya, perdamaian dengan rasa persaudaraan
dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian bersenjata, sebagai lambang perang
yang akan mengantarkan kita kepada kehancuran.
Islam agama kodrat
Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama kodrat (fitrah), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada kebenaran, kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat manusia juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam jiwa kita lalu menempatkannya kedalam batas-batas kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan kesempurnaannya.
Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama kodrat (fitrah), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada kebenaran, kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat manusia juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam jiwa kita lalu menempatkannya kedalam batas-batas kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan kesempurnaannya.
Koreksi atas konsepsi perang ini yang paling baik
ialah hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk membela diri,
membela keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha kearah itu. Hendaknya
rasa harga diri umat manusia secara integral benar-benar dipelihara.
Inilah yang sudah. menjadi ketentuan Islam
seperti yang sudah kita lihat dan yang akan kita lihat nanti. Ini pulalah yang
digariskan oleh Qur’an seperti yang sudah dan yang akan kita kemukakan kepada
pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta hubungannya maka Qur’an itu
diturunkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar