Keberangkatan Abu Sufyan ke Syam
SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Islam. Ketika itulah Waqid b. Abdullah at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama ditumpahkan oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita sebutkan tadi turun. Sebagai kelanjutannya maka diundangkan perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum Muslimin dan agamanya serta menghalangi mereka dan jalan Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan harta-benda mereka dalam menghadapi Quraisy. Disamping itu pihak Quraisy berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya melakukan pembunuhan dalam bulan suci. Muhammadpun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat bekerja sama dengan jalan persetujuan yang sebaik-baiknya dengan mereka sudah tak ada lagi.
SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Islam. Ketika itulah Waqid b. Abdullah at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama ditumpahkan oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita sebutkan tadi turun. Sebagai kelanjutannya maka diundangkan perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum Muslimin dan agamanya serta menghalangi mereka dan jalan Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan harta-benda mereka dalam menghadapi Quraisy. Disamping itu pihak Quraisy berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya melakukan pembunuhan dalam bulan suci. Muhammadpun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat bekerja sama dengan jalan persetujuan yang sebaik-baiknya dengan mereka sudah tak ada lagi.
Pada permulaan musim rontok tahun kedua Hijrah,
Abu Sufyan berangkat membawa perdagangan yang cukup besar, menuju Syam. Perjalanan
dagang inilah yang ingin dicegat oleh orang-orang Islam ketika Nabi s.a.w. dulu
pergi ke ‘Usyaira. Tetapi tatkala mereka sampai kafilah Abu Sufyan sudah lewat
dua hari lebih dulu sebelum ia tiba di tempat tersebut. Sekarang kaum Muslimin
bertekad menunggu mereka kembali. Sementara Muhammad menantikan mereka kembali
dari Syam itu, dikirimnya Talha b. ‘Ubaidillah dan Sa’id b. Zaid menunggu
berita-berita. Mereka berdua berangkat, dan sesampainya di tempat Kasyd
al-Juhani di bilangan Haura’2, mereka bersembunyi, menunggu hingga kafilah itu
lewat. Kemudian cepat-cepat mereka berdua menemui Muhammad guna memberitahukan
keadaan mereka.
Usaha Muslimin memotong jalan
Tetapi belum lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua utusan itu dari Haura’ beserta kabar tentang kafilah yang akan dibawanya, lebih dulu sudah tersebar berita tentang adanya sebuah rombongan kafilah besar, dan bahwa seluruh penduduk Mekah punya saham di situ. Tak ada penduduk laki-laki atau wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak ikut serta, sehingga seluruhnya mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir, kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka akan menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh karena itu ia segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:
Tetapi belum lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua utusan itu dari Haura’ beserta kabar tentang kafilah yang akan dibawanya, lebih dulu sudah tersebar berita tentang adanya sebuah rombongan kafilah besar, dan bahwa seluruh penduduk Mekah punya saham di situ. Tak ada penduduk laki-laki atau wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak ikut serta, sehingga seluruhnya mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir, kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka akan menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh karena itu ia segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:
“Ini adalah kafilah Quraisy. Berangkatlah kamu ke
sana. Mudah-mudahan Tuhan memberikan kelebihan kepada kamu.”
Ada orang yang segera menyambutnya dan ada pula
yang masih merasa berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum Islam ingin
bergabung karena mereka hanya ingin mendapatkan harta rampasannya saja. Tetapi
Muhammad menolak penggabungan mereka ini sebelum mereka beriman kepada Allah
dan RasulNya.
Sementara itu Abu Sufyan sudah mengetahui pula
akan kepergian Muhammad yang akan mencegat kafilahnya dalam perjalanan ke Syam.
Ia kuatir kalau-kalau kaum Muslimin akan mencegatnya bila ia kembali dengan
membawa laba perdagangan. Sekarang ia tinggal menunggu berita tentang mereka
itu, termasuk Kasyd Juhani yang pernah dikunjungi oleh kedua utusan Muhammad di
Haura’ itu, di antara orang yang ditanyainya. Sekalipun Juhani belum
mempercayai berita tersebut, tapi berita tentang Muhammad, kaum Muhajirin dan
Anshar sudah sampai juga kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada
Muhammad. Ia merasa kuatir juga kalau dari pihak Quraisy pengawalan kafilah
hanya terdiri dari tiga puluh atau empat puluh orang saja.
Ketika itulah ia lalu mengupah Dzamdzam b. ‘Amr
al-Ghifari supaya cepat-cepat pergi ke Mekah untuk mengerahkan Quraisy menolong
harta-benda mereka, juga diberitahukannya, bahwa Muhammad dan
sahabat-sahabatnya sedang mengancam.
Setibanya di Mekah, ketika berada di
tengah-tengah sebuah lembah, dipotongnya kedua telinga dan hidung untanya,
dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu sambil
berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju yang sudah
dikoyak-koyak bagian depan dan belakangnya:
“Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! harta
bendamu di tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Perlu pertolongan!
Pertolongan!”
Mendengar ini Abu Jahl segera memanggil
orang-orang di sekitar Ka’bah. Mereka dikerahkan. Abu Jahl adalah seorang
laki-laki berbadan kecil, berwajah keras dengan lidah dan pandangan mata yang
tajam. Sebenarnya orang-orang Quraisy itu sudah tidak perlu lagi dikerahkan
karena setiap orang sudah punya saham sendiri-sendiri dalam kafilah itu.
Sungguhpun begitu ada juga penduduk Mekah itu
sebagian yang sudah merasakan adanya kekejaman Quraisy terhadap kaum Muslimin
sehingga menyebabkan mereka terpaksa hijrah ke Abisinia dan kemudian hijrah ke
Medinah. Mereka ini masih maju-mundur: akan turut juga berperang mempertahankan
harta-benda mereka, atau akan tinggal diam saja dengan harapan kalau-kalau
kafilah itu tidak mengalami sesuatu gangguan. Mereka ini masih ingat bahwa dulu
antara kabilah Quraisy dan kabilah Kinana ada tuntutan darah yang dilakukan
oleh kedua belah pihak. Apabila mereka ini cepat-cepat menghadapi Muhammad
dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan diserbu oleh Banu Bakr (dari
Kinana) dari belakang. Alasan demikian ini hampir saja memperkuat pendapat yang
ingin tinggal diam saja, kalau tidak lalu datang Malik b. Ju’syum (Mudlij),
seorang pemuka Banu Kinana.
“Bagi kamu aku adalah jaminan, bahwa Kinana tidak
akan melakukan sesuatu di belakang kamu yang akan merugikan kamu sekalian.”
Dengan demikian orang-orang semacam Abu Jahl,
‘Amir al-Hadzrami serta penganjur-penganjur perang menentang Muhammad dan
pengikut-pengikutnya, mendapat dukungan kuat. Tak ada alasan bagi orang yang
mampu berperang itu yang akan tinggal di belakang atau akan menggantikannya
kepada orang lain. Dari pemuka-pemuka Quraisypun tak ada yang ketinggalan,
kecuali Abu Lahab yang diwakili oleh al-’Ash b. Hisyam b. Mughira. Orang ini
punya hutang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak 4000 dirham yang tak dibayar
sehingga ia bangkrut karenanya. Sedang Uamyya b. Khalaf sudah bertekad akan
tinggal diam. Dia sebagai orang terpandang, yang sudah tua sekali usianya,
badannya gemuk dan berat.
Ketika itu ia didatangi oleh ‘Uqba b. Abi Mu’ait
dan Abu Jahl ke mesjid. ‘Uqba membawa perapian dengan kemenyan sedang Abu Jahl
membawa tempat celak dan pemalitnya. ‘Uqba meletakkan tempat api itu di
depannya seraya berkata:
“Abu Ali,3 gunakanlah perapian dan menyan ini,
sebab kau wanita.”
“Pakailah celak ini, Abu Ali, sebab kau
perempuan,” kata Abu Jahl.
“Belikan buat aku seekor unta yang terbaik di
lembah ini,” jawab Umayya.
Lalu iapun pergi bersama mereka. Sekarang tiada
seorangpun yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah.
Pada hari kedelapan bulan Ramadan tahun kedua
Hijrah, Nabi s.a.w. berangkat dengan sahabat-sahabatnya meninggalkan Medinah.
Pimpinan sembahyang diserahkan kepada ‘Amr b. Umm Maktum, sedang pimpinan
Medinah kepada Abu Lubaba dari Rauha’. Dalam perjalanan ini Muslimin didahului
oleh dua bendera hitam. Mereka membawa tujuhpuluh ekor unta, yang dinaiki
dengan cara silih berganti. Setiap dua orang, setiap tiga orang dan setiap
empat orang bergantian naik seekor unta. Dalam hal ini Muhammad juga mendapat
bagian sama seperti sahabat-sahabatnya yang lain. Dia, Ali b. Abi Talib dan
Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor unta. Abu Bakr, Umar dan
Abdur-Rahman b. ‘Auf bergantian juga dengan seekor unta. Jumlah mereka yang berangkat
bersama Muhammad dalam ekspedisi ini terdiri dari tiga ratus lima orang,
delapanpuluh tiga di antaranya Muhajirin, enampuluh satu orang Aus dan yang
selebihnya dari Khazraj.
Karena dikuatirkan Abu Sufyan akan menghilang
lagi, cepat-cepat mereka berangkat sambil terus berusaha mengikuti
berita-berita tentang orang ini di mana saja mereka berada.Tatkala sampai di
‘Irq’z-Zubya mereka bertemu dengan seorang orang Arab gunung yang ketika
ditanyai tentang rombongan itu, ternyata ia tidak mendapat berita apa-apa.
Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah wadi bernama Dhafiran; di
tempat itu mereka turun. Di tempat inilah mereka mendapat berita, bahwa pihak
Quraisy sudah berangkat dari Mekah, akan melindungi kafilah mereka.
Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum
Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu
Sufyan dengan kalifahnya serta tigapuluh atau empatpuluh orang rombongannya itu
saja, yang takkan dapat melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah
dengan seluruh isinya sekarang keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka
sendiri guna membela perdagangan mereka itu.
Andaikata pihak Muslimin sudah dapat mengejar Abu
Sufyan, dan beberapa orang dari rombongan itu sudah dapat ditawan, unta beserta
muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisypun tentu akan segera pula dapat
menyusul mereka. Soalnya karena terdorong oleh rasa cintanya kepada harta dan
ingin mempertahankannya. Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah orang dan
perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad akan bertempur dan mengambil
kembali harta mereka, atau bersedia mati untuk itu.
Tetapi sebaliknya, apabila Muhammad kembali ke
tempat semula, pihak Quraisy dan Yahudi Medinah tentu merasa mendapat angin.
Dia sendiri terpaksa akan berada dalam situasi yang serba dibuat-buat,
sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan memikul segala tekanan dan gangguan Yahudi
Medinah, seperti gangguan yang pernah mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah
dahulu. Ya, apabila ia menyerah kepada situasi semacam itu, mustahil sekali
kebenaran akan dapat ditegakkan dan Tuhan akan memberikan pertolongan dalam
menegakkan agama itu.
Sekarang ia bermusyawarah dengan
sahabat-sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy
menurut berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu memberikan
pendapat. Kemudian Miqdad b. ‘Amr tampil mengatakan:
“Rasulullah, teruskanlah apa yang sudah
ditunjukkan Allah. Kami akan bersama tuan. Kami tidak akan mengatakan seperti
Banu Israil yang berkata kepada Musa: “Pergilahkamu bersama Tuhanmu, dan
berperanglah. Kami di sini akan tinggal menunggu. Tetapi, pergilah engkau dan
Tuhanmu, dan berperanglah, kami bersamamu akan juga turut berjuang.”
Semua orang diam.
“Berikan pendapat kamu sekalian kepadaku,” kata
Rasul lagi. Kata-kata ini sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang telah
menyatakan Ikrar ‘Aqaba, bahwa mereka akan melindunginya seperti terhadap sanak
keluarganya sendiri, tapi mereka tidak mengadakan ikrar itu untuk mengadakan
serangan keluar Medinah.
Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka
yang dimaksud, maka Sa’d b. Musadh yang memegang pimpinan mereka menoleh kepada
Muhammad.
“Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami,” katanya.
“Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami,” katanya.
“Ya,” jawab Rasul.
“Kami telah percaya kepada Rasul dan membenarkan,”
kata Sa’d pula, “Kamipun telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa itu adalah
benar. Kami telah memberikan janji kami dan jaminan kami, bahwa kami akan tetap
taat setia. Laksanakanlah kehendakmu, kami disampingmu. Demi yang telah
mengutus kamu, sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau terjun
menyeberanginya, kamipun akan terjun bersamamu, dan tak seorangpun dari kami
akan tinggal di belakang. Kami takkan segan-segan menghadapi musuh kita besok.
Kami cukup tabah dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan membuktikan
segalanya dari kami yang akan menyenangkan hatimu. Ajaklah kami bersama, dengan
berkah Tuhan.”
Begitu Sa’d selesai bicara, wajah Muhammad tampak
berseri. Tampaknya ia puas sekali; seraya katanya:
“Berangkatlah, dan gembirakan! Allah sudah
menjanjikan kepadaku atas salah satunya dari dua kelompok4 itu. Seolah-olah
kini kehancuran mereka itu tampak di hadapanku.”
Merekapun lalu berangkat semua. Ketika sampai
pada suatu tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri. Ia
menemui seorang orang Arab tua. Kepada orang ini ia menanyakan Quraisy dan
menanyakan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang kemudian daripadanya
diketahui, bahwa kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.
Lalu kembali lagi ia ke tempat sahabat-sahabatnya.
Ali b. Abi Talib, Zubair bin’l-Awwam, Sa’d b. Abi Waqqash serta beberapa orang
sahabat lainnya segera ditugaskan mengumpulkan berita-berita dari sebuah tempat
di Badr. Kurir ini segera kembali dengan membawa dua orang anak. Dari kedua orang
ini Muhammad mengetahui, bahwa pihak Quraisy kini berada di balik bukit pasir
di tepi ujung Wadi.5 Ketika mereka menjawab, bahwa mereka tidak mengetahui
berapa jumlah pihak Quraisy, ditanya lagi oleh Muhammad:
“Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap
hari?”
“Kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh
ekor,” jawab mereka.
Dengan demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan,
bahwa mereka terdiri dari antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua anak
itu dapat diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat
diri
Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya: “Lihat.
Sekarang Mekah sudah menghadapkan semua bunga bangsanya kepada kita.”
Berangkat dengan sukses
Mau tidak mau, sekarang ia dan sahabat-sahabatnya
harus berhadapan dengan suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh lebih
besar. Mereka harus mengerahkan seluruh semangat, harus mengadakan persiapan
mental menghadapi kekerasan itu. Mereka harus siap menunggu suatu pertempuran
sengit dan dahsyat, yang takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat
memenuhi kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.
Bilamana Ali sudah kembali dengan kedua orang
anak yang membawa berita tentang Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya lalu
berangkat lagi menuju lembah Badr. Mereka berhenti di atas sebuah bukit tidak
jauh dari tempat air, dikeluarkannya tempat persediaan airnya, dan di sini
mereka mengisi air itu.
Sementara mereka berada di tempat air, terdengar
ada suara seorang budak perempuan, yang agaknya sedang menagih hutang kepada
seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:
“Kafilah dagang besok atau lusa akan datang.
Pekerjaan akan kuselesaikan dengan mereka dan hutang segera akan kubayar.”
Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa
yang telah mereka dengar itu kepada Muhammad.
Perdagangan Abu Sufyan selamat
Tetapi, dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu ada di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan Majdi b. ‘Amr.
Tetapi, dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu ada di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan Majdi b. ‘Amr.
“Ada kau melihat orang tadi?” tanyanya.
Majdi menjawab bahwa ia melihat ada dua orang
berhenti di bukit itu sambil ia menunjuk ke tempat dua orang laki-laki Muslim
itu tadi berhenti. Abu Sufyanpun pergi mendatangi tempat perhentian tersebut.
Dilihatnya ada kotoran dua ekor unta dan setelah diperiksanya, diketahuinya,
bahwa biji kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib.
Cepat-cepat ia kembali menemui teman-temannya dan
membatalkan perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali
sekarang ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya dengan Muhammad
sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.
Quraisy dan Muslimin ragu-ragu akan berperang
Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat. Tetapi setelah ada berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai harapan penuh akan beroleh harta rampasan, terbalik menjadi layu. Beberapa orang bertukar pikiran dengan Nabi dengan maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu berhadapan dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika itu datang firman Tuhan:
Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat. Tetapi setelah ada berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai harapan penuh akan beroleh harta rampasan, terbalik menjadi layu. Beberapa orang bertukar pikiran dengan Nabi dengan maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu berhadapan dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika itu datang firman Tuhan:
“Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu dari
dua keIompok (musuh) itu untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa yang tidak
bersenjata itulah yang untuk kamu. Tetapi Allah mau membuktikan kebenaran itu
sesuai dengan ayat-ayatNya, dan akan merabut akar orang-orang yang tak beriman
itu.”6
Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu apa mereka
berperang, perdagangan mereka sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka kembali
ke tempat semula, dan membiarkan pihak Islam kembali ke tempat mereka. Abu
Sufyan juga berpikir begitu. Itu sebabnya ia mengirim utusan kepada Quraisy
mengatakan: Kamu telah berangkat guna menjaga kafilah dagang, orang-orang serta
harta-benda kita. Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan. Kembalilah. Tidak
sedikit dari pihak Quraisy sendiri yang juga mendukung pendapat ini.
Quraisy mengetahui persiapan Muslimin
Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:
Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:
“Kita tidak akan kembali sebelum kita sampai di
Badr. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita memotong ternak, kita
makan-makan, minum-minum khamr, kita minta biduanita-biduanita bernyanyi. Biar
orang-orang Arab itu mendengar dan mengetahui perjalanan dan persiapan kita.
Biar mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita.”
Soalnya pada waktu itu Badr merupakan tempat
pesta tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik diri dari tempat itu setelah
perdagangan mereka selamat, bisa jadi akan ditafsirkan oleh orang-orang Arab –
menurut pendapat Abu Jahl – bahwa mereka takut kepada Muhammad dan
teman-temannya. Dan ini berarti kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya
akan makin tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah b. Jahsy,
terbunuhnya Ibn’l-Hadzrami, dirampasnya dan ditawannya orang-orang Quraisy.
Ditunggu kembalinya
Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut dituduh pengecut, atau kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau mendengarkan saran Akhnas b. Syariq, orang yang cukup ditaati mereka.
Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut dituduh pengecut, atau kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau mendengarkan saran Akhnas b. Syariq, orang yang cukup ditaati mereka.
Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl. Mereka
berangkat menuju ke sebuah tempat perhentian, di tempat ini mereka mengadakan
persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka berangkat lagi
ke tepi ujung wadi, berlindung di balik sebuah bukit pasir.
Mereka berangkat ke Badr
Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu merekapun segera berangkat ke tempat mata air di Badr itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun. Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:
Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu merekapun segera berangkat ke tempat mata air di Badr itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun. Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:
“Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di
tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur
setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat tuan sendiri, suatu
taktik perang belaka?”
“Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik
perang,” jawab Muhammad.
“Rasulullah,” katanya lagi. “Kalau begitu, tidak
tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air
terdekat dan mereka, lalu sumur-sumur kering yang dibelakang itu kita timbun.
Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka
berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak.”
Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu,
Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat
temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa dia juga
manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan
bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka.
Dia perlu sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.
Selesai kolam itu dibuat, Sa’d b. Mu’adh
mengusulkan:
“Rasulullah,”7 katanya, “kami akan membuatkan
sebuah dangau buat tempat Tuan tinggal, kendaraan Tuan kami sediakan. Kemudian
biarlah kami yang menghadapi musuh. Kalau Tuhan memberi kemenangan kepada kita
atas musuh kita, itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang
terjadi; dengan kendaraan itu Tuan dapat menyusul teman-teman yang ada di
belakang kita. Rasulullah,7 masih banyak sahabat-sahabat kita yang tinggal di
belakang, dan cinta mereka kepada tuan tidak kurang dari cinta kami ini kepada
tuan. Sekiranya mereka dapat menduga bahwa tuan akan dihadapkan pada perang,
niscaya mereka tidak akan berpisah dari tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga tuan.
Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang bersama tuan.”
Muhammad sangat menghargai dan menerima baik saran
Sa’d itu. Sebuah dangau buat Nabi lalu dibangun. Jadi bila nanti kemenangan
bukan di tangan Muslimin, ia takkan jatuh ke tangan musuh, dan masih akan dapat
bergabung dengan sahabat-sahabatnya di Yathrib.
Disini orang perlu berhenti sejenak dengan penuh
kekaguman, kagum melihat kesetiaan Muslimin yang begitu dalam, rasa kecintaan
mereka yang begitu besar kepada Muhammad, serta dengan kepercayaan penuh kepada
ajarannya. Semua mereka mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar
dari kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Tetapi, sungguhpun
begitu, mereka sanggup menghadapi, mereka sanggup melawan. Dan mereka inilah
yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan. Tetapi sungguhpun
begitu karena bukan pengaruh materi itu yang mendorong mereka bertempur, mereka
selalu siap disamping Nabi, memberikan dukungan, memberikan kekuatan. Dan
mereka inilah yang juga sangsi, antara harapan akan menang, dan kecemasan akan
kalah. Tetapi, sungguhpun begitu, pikiran mereka selalu hendak melindungi Nabi,
hendak menyelamatkannya dari tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan baginya
untuk menghubungi orang-orang yang masih tinggal di Medinah. Suasana yang
bagaimana lagi yang lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang
lebih menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?
Posisi kedua belah pihak di Badr
Sekarang pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. Mereka mengutus orang yang akan memberikan laporan tentang keadaan kaum Muslimin. Mereka lalu mengetahui, bahwa jumlah kaum Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa pasukan pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri. Tiada seorang dan mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh lawan.
Sekarang pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. Mereka mengutus orang yang akan memberikan laporan tentang keadaan kaum Muslimin. Mereka lalu mengetahui, bahwa jumlah kaum Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa pasukan pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri. Tiada seorang dan mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh lawan.
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah
juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli
pikir mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan
terbunuh, sehingga Mekah sendiri nanti akan kehilangan arti. Sungguhpun begitu
mereka masih takut kepada Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka takut dituduh
pengecut dan penakut. Tetapi tiba-tiba tampil ‘Utba b. Rabi’a ke hadapan mereka
itu sambil berkata:
“Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan
lakukan hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada
gunanya. Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari
kalangan tuan-tuan sendin yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah
saudara sepupunya, dari pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja dari
keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu.
Kalau dia binasa karena pihak lain, maka itu yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi
kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal
yang tidak kita inginkan.”
Mendengar kata-kata ‘Utba itu, Abu Jahl naik
darah. Ia segera memanggil ‘Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan:
“Sekutumu ini ingin supaya orang pulang. Kau
sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas.
Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu!”8
‘Amir segera bangkit dan berteriak:
“O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!”
Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad b.
‘Abd’l-Asad (Makhzum) keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke
tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air
yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah b. Abd’l-Muttalib
segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia
tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah
memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang
memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu
yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia
daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri
menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah ‘Utba
b. Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. ‘Utba anaknya, sambil
menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemuda-pemuda dari
Medinah. Tetapi setelah melihat mereka ini ia berkata lagi:
“Kami tidak memerlukan kamu. Yang kami maksudkan
ialah golongan kami.”
Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:
“Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari
asal golongan kami itu tampil!”
Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka
adalah Hamzah b. Abd’l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan ‘Ubaida bin’l-Harith.
Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi
kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan. Lalu keduanya segera membantu
‘Ubaida yang kini sedang diterkam oleh ‘Utba. Sesudah Quraisy sekarang melihat
kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.
Pada pagi Jum’at 17 Ramadan itulah kedua pasukan
itu berhadap-hadapan muka.
Sekarang Muhammad sendiri yang tampil memimpin
Muslimin, mengatur barisan. Tetapi ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu
besar, sedang anak buahnya sedikit sekali, disamping perlengkapan yang sangat
lemah dibanding dengan perlengkapan Quraisy, ia kembali ke pondoknya ditemani
oleh Abu Bakr. Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan terjadi hari itu,
sungguh pilu hatinya melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin
tidak sampai mendapat kemenangan.
Doa Muhammad
Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan, ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar Tuhan memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam permohonan, sambil berkata:
Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan, ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar Tuhan memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam permohonan, sambil berkata:
“Allahumma ya Allah. Ini Quraisy sekarang datang
dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan RasulMu. Ya Allah,
pertolonganMu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang
binasa tidak lagi ada ibadat kepadaMu.”
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan
sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Ketika itu
Abu Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia bermohon:
“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan
mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam
terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah; dengan penuh khusyu’ dan
kesungguhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan isyarat dan pertolongan
Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh kaum Muslimin sama sekali tidak
diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang
demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam
pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar kembali, kemudian
ia bangun dengan penuh rasa gembira.
Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya;
dikerahkannya mereka sambil berkata:
“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.9 Setiap
orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju
dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam
surga.”
Jiwanya yang begitu kuat, yang telah diberikan
Tuhan begitu tinggi melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan
ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah
melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap orang dari mereka sama
dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang.
Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat
arti kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini
akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya.
Semangat nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang
mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya penuh dengan semangat
patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya
kepada tanah air serta kekuatirannya akan bahaya yang mengancam tanah air itu
dari pihak musuh.
Oleh karena itu semangat patriotisma dan
pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada
warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran,
kepada keadilan, kebebasan serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula
kekuatan moril dalam jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi.
Dan orang yang masih ingat akan propaganda anti-Jerman yang begitu luas
disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka
berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan
dan kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari
betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan kekuatan semangat
prajurit-prajurit Sekutu di samping menimbulkan simpati sebagian besar
bangsa-bangsa di dunia.
Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian,
dibandingkan dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi
manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi yang akan meleburkannya dan
keluar menjadi salah satu kekuatan alam semesta, yang akan memberi arah
kepadanya menuju kebaikan hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.
Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah
perdamaian disamping kewajibannya disisi Tuhan, membela orang-orang yang
beriman dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari
mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat
manusia ke jurang paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air
jiwa itu makin kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan
dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa itupun makin kuat,
sesuai dengan kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula dahsyatnya
kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta
seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga manusia mampu
memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia dapat mengawasi – dengan
kemampuan morilnya – segala yang masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan
moril ini akan berlipat ganda pula kekuatannya.
Apabila secara integral kemampuan moril ini belum
lagi mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan
Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan materi sebagaimana
yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia mempunyai kelebihannya.
Hal ini bertambah kuat lagi tatkala Muhammad dan sahabat-sahabatnya dapat
mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah manusia dan perlengkapan yang
sangat sedikit itu telah rnendapat kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan
sahabat-sahabatnya yang demikian inilah kedua ayat ini turun:
“O Nabi! Bangunkanlah semangat orang-orang
beriman itu dalam menghadapi perang. Bila kamu berjumlah duapuluh orang yang
tabah, mereka ini akan mengalahkan duaratus orang. Bila kamu berjumlah seratus
orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang kafir; sebab mereka adalah
orang-orang yang tidak mengerti. Sekarang Tuhan meringankan kamu, karena Ia
mengetahui, bahwa pada kamu masih ada kelemahan. Maka, jika kamu berjumlah
seratus orang yang tabah, akan dapat mengalahkan duaratus orang, dan jika kamu
seribu orang, akan dapat mengalahkan duaribu dengan ijin Allah. Dan Allah
bersama orang-orang yang berhati tabah.” (Qur’an, 8:55-56.)
Hilangnya keraguan
Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad.10 Yang Satu, Yang Satu.”
Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad.10 Yang Satu, Yang Satu.”
Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:
“Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau
kau lolos!”
Beberapa orang dari kalangan Muslimin
mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan dibawanya
sebagai tawanan.
Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu
berteriak sekeras-kerasnya:
“Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf
kepala kafir. Takkan selamat aku kalau ia lolos.”
Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat
diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh b. ‘Amr b. Jamuh juga
dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pahlawan-pahlawan
Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah
lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang
hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan
memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh
Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan
gembira mereka berseru: Ahad, Ahad. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang
dan waktu, sebagai bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang
memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga
bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher
musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.
Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang
sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir itu, Muhammad
berdiri. Diambilnya segenggam pasir, dihadapkannya kepada Quraisy. “Celakalah
wajah-wajah mereka itu!” katanya sambil menaburkan pasir itu kearah mereka.
Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando: “Serbu!”
Serentak pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih
dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah
penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh
musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya
semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka
bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula. Dalam hal ini
firman Allah turun:
“Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para
malaikat: ‘Aku bersama kamu.’ Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu.
Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir itu. Pukullah
bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka.” (Qur’an, 8:
12)
“Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka,
melainkan Allah juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan,
sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan juga.” (Qur’an, 8:
17)
Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah
melaksanakan janjiNya dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak
orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh
Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan
diri, ditawan.
Inilah perang Badr, yang kemudian telah
memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang
merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh semenanjung di bawah
naungan Islam, juga sebagai suatu pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang
terbentang luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia,
yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh yang dalam di
dalam jantung kehidupan dunia.
Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum
sekali bila mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan
sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh Tuhan dan musuhnya itu,
namun sejak semula terjadinya pertempuran ia sudah minta kepada Muslimin untuk
tidak membunuh Banu Hasyim dan tidak membunuh orang-orang tertentu dari
kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan
membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula
orang mengira, bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya atau
siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih
besar daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi
pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha
melindunginya selama tigabelas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga masa
hijrahnya, sampai-sampai Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan
ikrar ‘Aqaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan Quraisy di luar
Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam pemboikotan, yang oleh Quraisy
dia dan sahabat-sahabatnya dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua
hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah diberikan oleh
mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap sebagai suatu jasa yang harus
mendapat balasan setimpal, harus mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh
karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka
masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy sendiri
masih ada yang menolak pemberian pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh
Abu’l-Bakhtari – salah seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia
menolak dan terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari
tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata
mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia
segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di
Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan
sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya Muhammad dan
sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan
perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah
gelap Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan kepada
Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum
musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah
besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini, pada waktu larut malam itu
sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
“Wahai penghuni perigi! Wahai ‘Utba b. Rabi’a!
Syaiba b. Rabi’a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! …” – Seterusnya
ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi itu satu satu. “Wahai
penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah
bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang
yang sudah bangar?” kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
“Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar
daripada kamu,” jawab Rasul.
“Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu
Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
“Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai
ayahmu, Abu Hudhaifa”? tanyanya.
“Sekali-kali tidak, Rasulullah,” jawab Abu
Hudhaifa. “Tentang ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya.
Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi saya
harapkan sekali ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah
saya lihat apa yang teriadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran,
sesudah makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya
sedih.”
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang
dia serta mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah
siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan
sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka yang
melakukan serangan: kami yang mengumpulkannya; jadi itu buat kami. Lalu kata
yang mengejar musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran kalau tidak
karena kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian tak ada
yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan
mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihakpun yang akan melindungi
mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena
itu kami lalu menjaganya.
Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan
semua harta rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan dimintanya supaya dibawa
agar ia dapat memberikan pendapat atau akan ada ketentuan Tuhan yang akan
menjadi keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b.
Haritha ke Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk tentang
kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang dia sendiri dengan
sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju Medinah dengan membawa tawanan dan
rampasan perang yang telah diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan
pimpinannya kepada Abdullah b. Ka’b.
Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat
Shafra’, pada sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan
perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi rata. Beberapa ahli
sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi
seperlimanya sesuai dengan firman Allah:
“Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan
perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk para
kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam
perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami
turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua
golongan itu saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa.”
(Qur’an, 8: 41)
Sebahagian besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat,
terutama angkatan lamanya – bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr
dan sesudah rampasan perang dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata
di kalangan Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada
pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan kepada ahli
warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut ke Badr karena bertugas
mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi
tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul,
juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil.
Yang ikut bersama dalam perang dan mendapat kemenangan bukan hanya yang
bertempur saja, melainkan yang ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat
kemenangan itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang di
garis depan atau yang jauh dari sana.
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke
Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr
bin’l-Harith dan yang seorang lagi bernama ‘Uqba b. Abi Mu’ait. Sampai pada
waktu itu baik Muhammad atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu
peraturan tertentu dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan
mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan ‘Uqba ini
keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu.
Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai
di Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini
dengan pandangan mata yang demikian rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya
berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya:
“Muhammad pasti akan membunuh aku,” katanya.
“Ia menatapku dengan pandangan mata yang
mengandung maut.”
“Ini hanya karena kau merasa takut saja,” jawab
orang yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. ‘Umair –
orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang
sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan
membunuh aku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu
tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi,” kata Mushiab.
“Dulu kau menyiksa sahabat-sahabatnya.”
“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau
takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat dipercaya,” kata Mush’ab.
“Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam
dengan kau sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang
dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan keluarganya.
Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia segera berkata:
“Nadzr tawananku,” teriaknya.
“Pukul lehernya,” kata Nabi a.s. “Ya Allah.
Semoga Miqdad mendapat karuniaMu.”
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh
Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke
‘Irq’z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya ‘Uqba b. Abi Mu’ait juga dibunuh.
“Muhammad,” katanya, “siapa yang akan mengurus
anak-anak?”
“Api,” jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau
oleh ‘Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Semangat dan Kemenangan
Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang
Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan
meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di
Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
“Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah
ditaklukkan,” tenak mereka. “Ini untanya seperti sudah sama-sama kita kenal.
Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid
hanya mengigau saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian
benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu,
sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu penstiwa
yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya
puteri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan
suaminya, Usman b. ‘Affan, juga ditinggalkan supaya merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang
menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi
lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang pembesar Yahudi
yang mengatakan:
“Bari kita sekarang lebih baik berkalang tanah
daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan, pemimpinpemimpin dan
pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah suci itu mendapat bencana.”
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum
tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a isteri
Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada kabilah Banu ‘Afra’, tempat
asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. ‘Amr, salah seorang tawanan, yang kedua
belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri.
Dihampirinya orang itu seraya katanya:
“Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih
baik mati sajalah dengan terhormat!.”
“Sauda!” Muhammad memanggilnya dan dalam rumah.
“Kau membangkitkan semangatnya melawan Allah dan
RasulNya!”
“Rasulullah,” katanya. “Demi Allah Yang telah
mengutusmu dengan segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri ketika
melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk sehingga saya berkata
begitu.”
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan
para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:
“Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa
yang harus dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta
tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang
kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka
mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban
sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka
akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi; kalau dibunuh saja mereka
itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila
dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia menyerahkan masalah ini ketangan
sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah
kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata
masih ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr,”
kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling
lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad
menyukai yang lain lebih dari dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr,” kata mereka. “Di antara kita ada yang
masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita.
Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu
itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha.
Tetapi mereka kuatir Umar ibn’l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini.
Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti
yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga.
Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr
berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah,” katanya. “Demi ayah dan ibuku.
Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau
saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bermurah
hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita.
Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka
dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum
Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia
berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
“Rasulullah,” katanya. “Mereka itu musuh-musuh
Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah
leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang
sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya
semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih
lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan
itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali
memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau kasihan
tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad
berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia
kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu
pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak
mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan
tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan
dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi
seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh
masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih
ia hanya berkata:
“Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah?
Tidakkah kamu berakal?” (Qur’an, 21: 67)
Atau seperti katanya: “Yang ikut aku, dia itulah
yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun
dan Penyayang.” (Qur’an. 14: 36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar